Suara.com - Langkah DPR yang membuka jalan bagi perguruan tinggi negeri untuk mengelola tambang melalui Revisi Undang-undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) menimbulkan persoalan baru.
Alih-alih memperjuangkan pendidikan yang bebas dari kepentingan industri ekstraktif, wakil rakyat justru 'menjerumuskan' institusi akademik ke dalam pusaran eksploitasi sumber daya alam atas nama 'kemandirian finansial'.
Ironinya, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI). Ketua MRPTNI, Eduart Wolok, menyebut keterlibatan kampus dalam bisnis tambang dapat menjadi solusi untuk meningkatkan pendapatan dan menekan biaya kuliah tunggal (UKT).
Ia beralasan bahwa biaya kuliah setiap mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN) belum sepenuhnya ditanggung negara. Itu sebabnya, masih ada biaya UKT yang dibebankan kampus kepada mahasiswa.
"Dengan adanya (kampus mengelola tambang) nanti manfaat dari perluasan usaha ini akan membuat perguruan tinggi mendapatkan manfaat dan bisa menjaga UKT untuk tidak naik. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bisa lebih disesuaikan ke depan. Itu kan harapan kita," ujarnya kepada Suara.com, Kamis (23/1/2025).
Dalih kemandirian finansial tersebut sejatinya menimbulkan keraguan akan konsistensi perguruan tinggi menjaga etika dan moralitas yang masih dianggap sebagai benteng peradaban, apabila kemudian kampus didorong untuk mengeksploitasi tambang.
DPR Memuluskan Jalan
Rencana ini tercermin dalam Pasal 51 huruf A revisi keempat UU Minerba, yang memberikan prioritas izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan, berdalih bahwa kebijakan ini bertujuan agar sumber daya alam dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, termasuk institusi pendidikan.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad mengklaim bahwa tujuan utama kebijakan tersebut untuk membantu kampus mencari sumber pendanaan alternatif.
"Ya saya pikir kalau semangatnya adalah bagaimana kemudian memberikan atau mencarikan dana untuk universitas-universitas," kata Dasco di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Terkait aturan mekanisme kampus mengelola tambang, ia memastikan bakal diatur kembali oleh Baleg DPR RI dalam pembahasan RUU Minerba yang diharapkan bisa memberikan manfaat bagi setiap Kampus.
"Nah sehingga kemudian memang pemberian-pemberian itu juga memberikan manfaat kepada universitas yang dimaksud," katanya.
Saat ditanya mengenai tidak adanya penyampaian pernyataan Baleg dalam Rapat Paripurna mengenai RUU Minerba sebagai usulan inisiatif, Bob menegaskan pihaknya sudah menyampaikan hal itu dalam Rapat Badan Musyawarah (Bamus) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
"Loh udah Bamus udah apa kita RDPU," kata Bob di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Ia bahkan berdalih, pembahasan RUU Minerba memang sudah seharusnya dikebut dengan alasan hilirisasi.
"Harus kita kan program hilirisasi. Kita dari 10 Januari dibahas. Kan kita dapat izin rapat dalam masa reses. Ada tahapannya kita gak main langsung. Ada tahapan semuanya. Termasuk yang terpenting partisipasi publik ini kita sukseskan untuk aspirasi dan untuk bekal dalam pemmbahasan nanti," katanya.
Lebih lanjut, ia mengklaim pembahasan RUU Minerba juga sudah mendapatkan penuh partisipasi masyarakat.
"Tuntas lengkap, dan sekarang sudah dalam 2 hari ini full partisipasi publik, sudah pendapat-pendapat dari ormas dari PT dari badan usaha," pungkasnya.
Klaim-klaim tersebut memicu kecurigaan bahwa revisi UU Minerba lebih berpihak pada kepentingan ekonomi dan politik tertentu ketimbang kepentingan pendidikan.
Anggota Baleg DPR Fraksi PDIP, Yasti Soepredjo Mokoagow kemudian mengkritisi usulan pemberian izin kelola tambang untuk ormas keagamaan dan perguruan tinggi atau kampus.
"Kalau kita lihat data tadi, ormas Islam saja ada 86. Belum lagi perguruan tinggi ada ribuan. Bagaimana cara pemerintah memberikan IUP OP kepada ormas dan perguruan tinggi. Saya khawatir pemberian IUP ini kepada ormas keagamaan, perguruan tinggi adalah upaya pembungkaman," kata Yasti.
Pembungkaman yang dimaksud, kata dia, agar tak lagi ormas hingga kampus bersuara kritis dan kencang.
"Apabila ormas bersuara kencang, perguruan tinggi bersuara kencang, itu bisa bernasib lain. Jadi kita khawatir, jangan seperti pedang bermata dua ini di satu sisi memberikan permen, di sisi lain di akhirnya mendapatkan kepahitan," katanya.
Kritik Keras
Sementara itu, Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi, Mukri Friatna mengkritik keras kebijakan ini. Ia menilai bahwa keterlibatan kampus dalam industri tambang akan memperparah kerusakan lingkungan.
Mukri menyoroti bahwa negara sudah kewalahan dalam mengawasi eksploitasi sumber daya alam oleh swasta dan asing, apalagi bila perguruan tinggi ikut serta dalam praktik yang sama.
Awalnya ia mengatakan, jika bangsa Indonesia sudah pusing hanya mengurus pagar laut. Jangan lagi ditambah dengan masalah perizinan tambang.
"Pulau yang besarnya lebih di bawah 2.000 kilometer boleh dikuasai oleh asing. Sebesar 70 persen. Bagaimana kita akan mengawasi ini? Pasti alasannya kami tidak ada dana seterusnya. Itu pendapat yang klasik," kata Mukri.
"Kami mohon lembaga ini berhenti mengikuti jejak kejahatan Mulyono. Rungkad bangsa ini, saya jamin ini," sambungnya.
Tak hanya itu, ia juga menyebut kebijakan ini sebagai langkah 'mengobral' izin tambang demi menambal defisit anggaran negara.
"Kami sudah tebak ini arahnya nih. Pasti cara paling mudah adalah obral izin."
Ia menantang DPR untuk turun langsung ke lapangan melihat dengan mata kepala sendiri dampak pertambangan terhadap masyarakat dan lingkungan.
Bahkan hingga terjadinya tumpang tindih lahan, kriminalisasi warga, serta minimnya keuntungan yang diperoleh negara dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan.
"Mari kita turun ke kampung-kampung di mana lokasi-lokasi IUP itu ada. Di mana lokasi-lokasi kontrak karya itu ada. Supaya jernih kita, benar nggak ada kerusakan lingkungannya. Benar gak ada tumpang tindihnya. Benar nggak, ada penggusuran? Betul tidak ada kriminalisasinya? Dan, berapa sebetulnya pendapatan yang kita dapatkan dari sektor tambang tersebut?"
Sementara itu, Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang Perdana Wiratraman menegaskan bahwa praktik pertambangan yang memiliki daya rusak luar biasa terhadap lingkungan karena pada kenyataannya merugikan masyarakat.
"Saya kira ini membajak Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 untuk kepentingan kekuasaan terutama kuasa tambang yang sebenarnya mereka hanya berpikir soal eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan sekelompok orang," jelas Herlambang kepada Suara.com, Rabu (22/1/2025).
Bahkan, pemberian izin bisnis tambang kepada perguruan tinggi juga tidak tepat alias sesat pikir. Alih-alih meningkatkan mutu dan kualitas, Herlambang menilai yang terjadi justru akan merusak dan mengacaukan dunia pendidikan.
"Itu sudah sesat pikir terhadap upaya membangun pendidikan. Pendidikan ya pendidikan fungsinya, bukan bisnis," tegasnya.
Cucun Ahmad Syamsurijal, mengatakan memang sudah seharusnya pesantren berperan untuk negara.
Maman mengatakan sudah saatnya para pelaku usaha kecil juga bisa mengelola tambang seperti usaha-usaha yang besar.
Dalam pengelolaan tambang ini, menurutnya, yang juga sangat penting adalah investasi.
Menurut dia, kekinian pemerintah belum melakukan pembahasan mendalam dengan DPR terkait kriteria dan kebutuhan perguruan tinggi untuk mendukung program tersebut.
Tidak semua game untuk anak-anak, kenali melalui rating usia yang disematkan.
Kasus kriminalitas yang dilakukan ABG makin nekat, psikolog sarankan orang tua lakukan tindakan preventif ini.
Alex Pastoor yang menjabat sebagai asisten pelatih timnas Indonesia justru dianggap lebih kompeten ketimbang Patrick Kluivert.
Di dunia yang penuh ketidakpastian, manusia merindukan kisah cinta sederhana yang manis dan menghibur.
Survei yang dilakukan pada 4-10 Januari 2025 ini mengungkapkan bahwa masyarakat kelas ekonomi bawah mencatat kepuasan tertinggi, yakni 84,7 persen.
Belum ada yang khas dari Gibran pada 100 hari pertama masa kerjanya.
Ini bukan solusi akhir untuk mengakhiri kekerasan dan konflik bersenjata di Papua.