Suara.com - Intensitas hujan ekstrem di sekitar Bendungan Katulampa, Bogor, memicu banjir di Jabodetabek. Curah hujan di kawasan itu mencapai 232 mm per hari dalam beberapa waktu terakhir.
Jakarta dan Bekasi ikut terdampak. Senin (3/3/2025), curah hujan di dua kota ini mencapai 109 mm per hari. Akibatnya, hingga Selasa (4/3) sore, 122 RT di Jakarta terendam banjir dengan ketinggian 35 cm hingga 3,3 meter. Sebanyak 2.800 warga mengungsi.
Bekasi lebih parah. BPBD mencatat 20 titik banjir dengan lebih dari 10 ribu warga terdampak. Wali Kota Bekasi Tri Andhianto menyatakan kota lumpuh. Dari 12 kecamatan terdampak, 8 di antaranya berada di wilayah Kota Bekasi.
“Hari ini Kota Bekasi lumpuh. Jalan utama, kantor pemerintahan, semua mulai terendam. Limpasannya luar biasa,” ujar Tri.
Di Tangerang Selatan, banjir melanda 5 kecamatan dengan 1.870 rumah terdampak. Di Depok, 19 titik terendam, termasuk bantaran Kali Cabang Timur, Kali Cabang Barat Mampang, dan Situ Pengarengan. Perumahan seperti Mutiara Depok, PGRI Pasir Putih, Taman Duta, hingga Jalan Raya Juanda juga terdampak.
Di Puncak, Kabupaten Bogor, 204 warga mengungsi pada Senin (3/3). Total, 486 jiwa terdampak.
Minta Tolong di Media Sosial
Kesulitan komunikasi memperparah situasi. Layanan darurat sulit dihubungi, sementara air terus naik. Dalam kepanikan, warga beralih ke media sosial, berharap ada yang melihat dan segera mengirim bantuan.
Mereka terus berkejaran dengan waktu dan debit air. Warga panik. Bantuan tak kunjung datang.
Di Bekasi, akun X @oowrenzie meminta tolong. Temannya dan keluarga lansia mereka terjebak di Perumahan Irigasi Baru. Tak bisa keluar. Tak ada yang menolong.
Di Pondok Gede Permai, @nvlianastr juga mencari bantuan lewat media sosial. Ia menyebut, kawannya, yang juga seorang ibu dan bayinya terjebak di lantai dua sejak subuh. Telepon darurat tak tersambung—112, 113, 119, BNPB, BPBD, semua nihil.
Di Teluk Pucung, banjir hampir 3 meter. Pacar @afinajhar18 masih terjebak. Panggilan ke BPBD dan DAMKAR tak ada jawaban. Ia butuh bantuan segera.
Di tengah kepanikan dan banjir yang kian meluas, media sosial justru menjadi garda terdepan. Warga saling bertukar kabar, berbagi situasi, bahkan mengoordinasikan bantuan. Akun-akun seperti @txtdrbekasi, @txtdaritng, dan @txtdrjkt bergerak lebih cepat dari instansi resmi.
“Patut diapresiasi. Mereka lebih gercep mikirin rakyat daripada pejabat yang digaji buat mikirin rakyat. Salute! ,” tulis salah satu akun @barengwarga.
Sementara itu, Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, akhirnya buka suara. Ia meminta maaf kepada seluruh warga Bekasi atas dampak banjir.
"Saya memahami betapa sulitnya situasi ini bagi banyak keluarga. Saya melihat langsung rumah-rumah terendam, bagaimana warga berjuang menyelamatkan diri," ujarnya di akun Twitternya.
Ia mengklaim Pemkot Bekasi sudah bergerak sejak pagi, berkoordinasi dengan BNPB, Basarnas, dan Menko PMK untuk menangani situasi.
Ia juga mengapresiasi warganet yang aktif berbagi informasi.
"Terimakasih rekan-rekan @txtdrbekasi yang sejak pagi dengan updatenya memberikan informasi penting bagi kami dalan melakukan penanganan dilalangan," kata Tri Adhianto.
Persoalan Lama
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengklaim bahwa pihaknya telah aktif menyampaikan informasi cuaca ekstrem melalui berbagai kanal resmi.
"Kami terus menyampaikan peringatan dini melalui website, aplikasi mobile, SMS blasting, dan media sosial BMKG," kata Dwikorita dalam keterangannya, dikutip Suara.com, Selasa (4/3/2025).
Namun, peringatan saja tidak cukup. Efektivitasnya bergantung pada kesiapan pemerintah daerah dalam merespons. Jika tidak ada langkah cepat, dampaknya bisa semakin parah.
Pengamat infrastruktur dan tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menilai lambannya respons pemerintah daerah terhadap peringatan dini BMKG bukan hal baru.
"Ini persoalan lama. Ilmu langitnya sudah canggih, tapi ilmu daratnya enggak nyambung," kata Yayat kepada Suara.com, Selasa (4/3/2025).
BMKG telah berkali-kali mengeluarkan peringatan tentang potensi hujan ekstrem. Namun, banyak pemerintah daerah tidak menindaklanjutinya. Ada yang tidak peduli, ada juga yang terkendala biaya, kurangnya personel, hingga lemahnya koordinasi di tingkat masyarakat.
Menurut Yayat, masyarakat umumnya hanya bergerak jika didorong oleh pemerintah. Karena sosialisasi minim, warga akhirnya mencari cara sendiri: mengunggah kondisi mereka ke media sosial agar mendapatkan perhatian.
"Jadi masyarakat menceritakan, 'inilah penderitaan saya akibat bencana ini'," ujarnya.
Yang lebih disayangkan, ketika bencana terjadi dan dampaknya memburuk, pemerintah daerah sering kali tidak transparan. Jarang ada yang berani mengakui kegagalan dalam menata kota atau membangun infrastruktur yang memadai.
Membangun Komunikasi Risiko
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzayin Nazaruddin, dalam tulisannya di The Conversation, menilai, pemerintah kerap gagal dalam komunikasi risiko. Ini membuat pemberitaan bencana simpang siur. Padahal, komunikasi risiko bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan pertukaran pandangan tentang ancaman yang harus dikelola.
Ia menekankan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap sumber informasi menjadi kunci. Semakin tinggi kepercayaan, semakin efektif respons mereka terhadap bencana.
Penelitian menunjukkan pemerintah masih menjadi sumber utama informasi risiko. Namun, lanjut Muzayin komunikasi harus fleksibel. Ia mengatakan tidak ada satu model yang cocok untuk semua krisis.
"Setiap krisis membutuhkan pendekatan yang sesuai dengan situasi lokalnya," ujar Muzayin dalam tulisannya.
Kesadaran terhadap ancaman bencana, menurutnya, harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Contohnya masyarakat di lereng Merapi. Saat status gunung meningkat ke Siaga (Level III), mereka tahu apa yang harus dilakukan.
Tas darurat disiapkan, jalur evakuasi dipahami, informasi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) diikuti.
Kesadaran ini terbentuk lewat edukasi bencana yang dimulai sejak erupsi Merapi 1994 dan diperkuat dengan program Wajib Latih Penanggulangan Bencana (WLPB) sejak 2008.
Namun, pendekatan sains saja tidak cukup. Nilai lokal juga berperan. Muzayin mencontohkan masyarakat Simeulue di Aceh yang memiliki warisan pengetahuan soal tsunami: smong. Begitu gempa besar mengguncang dan air laut surut, mereka segera lari ke bukit sambil berteriak "smong, smong, smong."
Pengetahuan ini menyelamatkan mereka saat tsunami 2004. Hanya lima warga Simeulue yang meninggal, jauh lebih sedikit dibandingkan ratusan ribu korban di Banda Aceh dan sekitarnya. Sejak itu, smong diajarkan dalam budaya populer lewat nyanyian nandong dan digunakan sebagai media edukasi oleh lembaga kebencanaan.
"Pendekatan top hazard—metode alternatif yang memfokuskan perencanaan pada bahaya dengan risiko dan dampak tertinggi—dapat membantu mengidentifikasi dan mengelola risiko dengan lebih efektif, dengan fokus pada ancaman yang paling signifikan bagi masyarakat," kata dia.
"Mohon doanya agar musibah ini dapat segera teratasi..."
"...Ketika saya saksikan di rumah pompa-pompa itu sering bermasalah karena sampahnya yang nyangkut."
Sejumlah titik di Kota dan Kabupaten Bekasi masih menghadapi kondisi banjir yang signifikan akibat hujan deras yang terjadi sejak Senin malam.
"Selanjutnya warga melaporkan temuan tersebut kepada Timsar gabungan," ujarnya.
Dia terbukti menciderai. Itu sanksinya harusnya diberhentikan sebagai mahasiswa, kata Herlambang.
UU Cipta Kerja yang diklaim pemerintah sebagai solusi penciptaan lapangan kerja justru jadi alat pemutusan hubungan kerja.
Kami sudah teriakkan persoalan ini sudah lama. Bahkan kepada Pertamina, kata Rohimin.
Lantas, mengapa kasus ini terjadi dan apa risikonya?
Tak hanya di siang hari, warung kopi hingga kafe tak boleh buka saat salat Isya sampai selesai Tarawih.
Kebijakan ini menuai kritik. Banyak yang menilai pemangkasan ini bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
Tradisi meugang sudah berlangsung sejak 400 tahun lalu. Tradisi ini berawal dari Kesultanan Aceh Darussalam.