Suara.com - Kebijakan populis di bidang kesejahteraan sosial ditengarai menjadi kunci di balik tingginya kepuasan publik terhadap 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, tingkat kepuasan publik mencapai 80,9 persen.
Survei yang dilakukan pada 4-10 Januari 2025 ini mengungkapkan bahwa masyarakat kelas ekonomi bawah mencatat kepuasan tertinggi, yakni 84,7 persen. Sebaliknya, kepuasan dari masyarakat kelas atas lebih rendah, hanya 67,9 persen. Perbedaan ini mencerminkan dampak nyata kebijakan populis pada kelompok yang lebih rentan.
“Bersama bidang politik dan keamanan, kepuasan bidang kesejahteraan sosial ini menjadi dua bidang paling besar penopang apresiasi pemerintah secara keseluruhan,” ungkap peneliti Litbang Kompas Budiawan Sidik Arifianto.
Hasil survei Litbang Kompas mengungkap, sebagian besar masyarakat karena program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran telah dijalankan. Di antaranya; program Makan Bergizi Gratis atau MBG dan pemeriksaan kesehatan gratis.
Guru besar dari Universitas Andalas (Unand) Asrinaldi menilai, terlepas dari adanya beragam persoalan terkait pelaksanaan program MBG, pemenuhan janji politik Prabowo-Gibran di awal pemerintahan memang menjadi faktor utama yang mendongkrak tingginya tingkat kepuasan publik.
“Ini bisa saja terjadi menurut saya memang karena beberapa janji Prabowo-Gibran ini sudah dilaksanakan. Misalnya MBG, terlepas dari pelaksanaannya,” kata Asrinaldi kepada Suara.com, Jumat (24/1/2025).
Namun demikian, Asrinaldi menilai perbaikan dan peningkatan kualitas daripada program tersebut harus tetap dilakukan. Bagaimana tingkat kepuasan publik yang sesungguhnya, kata dia, akan terlihat nanti.
“Setelah setahun masyarakat pasti akan melihat dan menilai bagaimana kualitasnya dan di situ lah akan nampak,” ujarnya.
Melacak Gaya Populisme Prabowo
Politik populis Prabowo bisa dilacak sejak Pemilu 2014. Kala itu, ia memposisikan dirinya sebagai sosokultra-nasionalis. Hal ini berlanjut pada Pemilu 2019 dan kampanye Pilpres 2024.
Dalam jurnal "Mencermati Populisme Prabowo Sebagai Bentuk Gaya Diskursif Saat Kampanye Politik Pada Pemilihan Presiden 2019," Prabowo selalu mengangkat tema kerakyatan dalam kampanye dengan retorika yang menggugah.
Tujuannya adalah untuk menciptakan citra bahwa dia berpihak pada rakyat, terutama petani yang dianggap terabaikan oleh sistem dan intervensi asing.
Bachtiar Nur Budiman, dalam artikel "Populisme: Konsekuensi dari Stagnasi Politik dan Demokrasi di Indonesia," menyatakan bahwa populisme di Indonesia seringkali mengandalkan pemimpin karismatik yang dapat memanfaatkan otoritasnya untuk meraih keuntungan, meskipun mengatasnamakan rakyat.
Meski menawarkan perubahan, populisme berpotensi membahayakan demokrasi dengan mengurangi ruang gerak kompleksitas politik, ekonomi, agama, dan budaya, yang bisa menyebabkan demokrasi kehilangan identitasnya.
Ancaman Bom Waktu
Di samping itu, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengungkap di balik itu terdapat ancaman besar yang berpotensi mengganggu stabilitas fiskal negara.
“Program atau kebijakan populis itu sebenarnya menyimpan bom waktu, karena ada konsekuensi fiskal dari program-program tersebut,” ungkap Achmad kepada Suara.com, Jumat (24/1/2025).
Program MBG merupakan salah satu janji politik Prabowo-Gibran. Program tersebut telah direalisasikan secara bertahap di 26 provinsi sejak 6 Januari 2025. Anggaran yang telah disiapkan pemerintah di tahun ini mencapai Rp71 triliun.
Kepala Badan Gizi Nasional atau BGN, Dadan Hindayana baru-baru ini menyebut, perlu adanya tambahan anggaran sebesar Rp100 triliun untuk program MBG. Sebab alokasi anggaran sebesar Rp71 triliun itu hanya cukup untuk kebutuhan 15-17,5 juta penerima manfaat. Sementara Prabowo menginginkan target 82,9 juta penerima program MBG tercapai di tahun ini.
Achmad mengatakan, beban APBN yang meningkat tajam untuk mendanai program-program populis dikhawatirkan akan semakin memperlebar defisit anggaran. Apalagi di tahun 2025, pemerintah diproyeksikan akan menambah utang baru sebesar Rp775,86 triliun. Nilai utang tersebut meningkat signifikan dibandingkan tahun 2024 yang hanya sebesar Rp553,1 triliun.
“Banyak pihak mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam mengambil utang baru, mengingat sebagian besar program ini didanai oleh utang, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi nasional,” ungkapnya.
Kelas Menengah Paling Tedampak
Kelas menengah adalah kelompok yang paling rentan terdampak oleh kebijakan populis. Seperti kenaikan PPN dan beban pajak lainnya, menurut Achmad memang dirancang untuk membiayai program-program populis ambisius Prabowo-Gibran.
Dalam berjudul PPN 12%: Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah, dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan atau Rp4.251.522 per tahun. Dampaknya, daya beli berkurang, terutama untuk barang non-esensial seperti hiburan, perjalanan, dan barang mewah.
Jika merujuk hasil survei Litbang Kompas, tingkat kepuasan masyarakat kelas menengah —khususnya menengah atas— terhadap kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran memang cenderung lebih rendah. Angkanya hanya mencapai 75,3 persen.
“Program populis ini memang dimaksudkan untuk membantu kalangan masyarakat bawah. Tetapi memberatkan kelas menengah, dan ternyata kelas menengah menangkap itu, terlihat dari surveinya,” jelas Achmad.
Achmad menyebut kelas menengah merasakan langsung bagaimana dampak daripada kenaikan pajak. Terlebih di tengah kondisi mereka daya beli yang menurun akibat meningkatnya harga barang dan jasa.
“Sementara manfaat langsung dari kebijakan (populis) ini cenderung lebih dirasakan oleh kelompok berpenghasilan rendah, menciptakan ketimpangan yang berpotensi memicu ketidakpuasan sosial,” pungkasnya.
Foto lainnya memperlihatkan jika anggota polisi itu sudah dijebloskan ke penjara akibat perbuatannya.
Setidaknya ada dua nama yang masuk radar untuk di-reshuffle.
Prabowo akan bertemu dengan Presiden India Droupadi Murmu dan Perdana Menteri Narendra Modi.
Anak-anak adalah aset terbesar bangsa. Menjamin kebutuhan gizi mereka tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga perkembangan mental dan intelektual.
Belum ada yang khas dari Gibran pada 100 hari pertama masa kerjanya.
Ini bukan solusi akhir untuk mengakhiri kekerasan dan konflik bersenjata di Papua.
Ia beralasan bahwa biaya kuliah setiap mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN) belum sepenuhnya ditanggung negara.
Dalam studi Celios bertajuk 'Rapor 100 Hari Prabowo-Gibran' menghasilkan sejumlah rekomendasi, salah satunya terkait menteri yang dinilai berkinerja buruk dan layak diganti.
Konsesi tambang kepada perguruan tinggi dalam bentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) berpotensi disalahgunakan oleh perusahaan untuk menghindari pajak.
Dalam laporan Rapor 100 Hari Prabowo-Gibran, Celios menyoroti lima menteri dengan kinerja terburuk.
Desas-desus reshuffle mulai terdengar jelang 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran. Siapa yang bakal terdepak?